Warta HukumWarta Nasional

Ketum FPWI: “Tolak RUU Penyiaran Kebiri Kemerdekaan Pers”

Pasal 50B ayat (2) misalnya, juga mencantumkan larangan konten berita yang ditayangkan melalui media penyiaran, antara lain penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Oleh: redaksi

Media Warta Nasional |BekasiMenyikapi rencana DPR – RI terkait penyusunan draf Rancangan Undang – Undang penyiaran (RUUP) organisasi profesi jurnalis se – Indonesia memprotes keras rencana tersebut, para jirnalis menilai RUU penyiaran tersebut bersifat mengekang kebebasan Pers.

Ketua Umum Forum Penulis dan Wartawan Indonesia (FPWI) Rukmana ditemui di Kantornya Jl. Ratna, Bekasi, Jawa Barat mengatakan, RUU penyiaran tidak boleh dibiarkan lolos karena akan mengebiri kebebasan Pers dan melanggar undang – undang Pers no. 40 th 1999. Pasal 4 menjamin kebebasan pers lahir  yang setelah Orde Baru tumbang pada 1998 katanta Senin 27/05/24.

“Pasal 4 menyebutkan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi” tandas Rukmana.

Lanjut Rukmana, “Jika pemerintah memaksakan RUU penyiaran menjadi undang – undang maka kita sudah mundur ke era orde baru dimana kebebasan pers dikekang habis – habisan, olèh karena itu sekali lagi saya tekankan, tolak RUU Penyiaran demi menjunjung tinggi UU Pers No. 40 th 199 dan demokrasi hasil reformasi”, tegasnya.

Proses revisi UU No.32 Tahun 200 tentang Penyiaran menuai protes dari kalangan masyarakat sipil. Pasalnya penyusunan draf RUU Penyiaran dinilai banyak kalangan tidak melibatkan pemangku kepentingan dan substansinya bermasalah. Ironisnya, terdapat materi yang mengancam kebebasan pers.

 

Insan Pers dalam Webinar UU Pers

Tak hanya insan pers yang memprotes RUU penyiaran tersebut, Guru Besar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Andi M. Faisal Bakti mencatat proses revisi itu masih digodok DPR. Ini bukan kali pertama upaya untuk membatasi kebebasan pers, karena sebelumnya sudah ada beberapa regulasi serupa. Seperti UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Peraturan KPU, dan UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.

Tapi untuk revisi UU 32/2002, Prof Andi melihat salah satu alasannya beleid itu dianggap sudah ketinggalan zaman. Sehingga perlu diperbarui sesuai perkembangan teknologi informasi. Persoalannya dalam RUU itu ikut menyasar kebebasan pers.

Pasal 50B ayat (2) misalnya, juga mencantumkan larangan konten berita yang ditayangkan melalui media penyiaran, antara lain penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Kemudian melarang konten yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.

Ketua FPWI mengusulkan agar RUU ini disusun dari awal dengan melibatkan pemangku kepentingan baik dewan pers, seluruh organisasi pers  dan lainnya.

Apatahlagi sekarang sudah banyak ahli komunikasi yang bergelar Profesor,” katanya dalam diskusi bertema ‘RUU Penyiaran dan Ancaman Kebebasan Pers Indonesia, Pungkasnya, Senin (27/05/2024).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *