Oleh Ilham
Media Warta Nasional | Jakarta – Innalillahi Wainnailaihi Rojiun kabar duka datang dari keluarga besar Kh. Chalid Mawardi Jum’at 26/07/2024. Bangsa Indonesia kehilangan putera terbaiknya, seorang tokoh masyarakat, sejarawan dan pejuang menghembuskan nafas terakhirnya menghadap sang pencipta.
Penulis terakhir kali bertemu dengan almarhum Chalid Mawardi pada tahun 2013 di sebuah acara GP Ansor di Jakarta.
Peran kesejarahan Chalid Mawardi dalam kancah pergerakan kepemudaan bukanlah perjalanan yang pendek. Chalid memulai aktif di Gerakan Pemuda Ansor di era Bung Karno hingga menapaki puncak perkhidmatannya sebagai Ketua Umum GP. Ansor di era Soeharto.
Nama Chalid Mawardi juga tercatat sebagai saksi ketika GP. Ansor mengalami masa-masa sulit disaat berhadapan dengan PKI.
Wafatnya Chalid Mawardi hari ini mengingatkan kita pada peristiwa yang terjadi 60 tahun lalu dimana Ansor dan Banser pernah mendapatkan ‘perlakuan tidak adil’ akibat tindakan yang dilakukannya.
Inilah hasil wawancara saya dengan Sejarawan NU dan Ansor yang juga pernah menjadi wartawan Majalah TEMPO, Choirul Anam, yang saya rekam pada tanggal 9/02/ 2018.
Pada Sidang Kabinet Maret 1964, Ketua CC PKI yang juga menjadi Wakil Ketua MPRS, DN. Aidit, meminta kepada Bung Karno agar Ansor dibubarkan karena melakukan tindakan kekerasan terhadap rakyat.
Permintaan Aidit ini dilatarbelakangi peristiwa bentrokan yang melibatkan Banser akibat aksi sepihak PKI yang terjadi di Kediri beberapa hari sebelumnya.
Dalam Sidang Kabinet tersebut, KH. Idham Chalid (Ketua Partai NU, Wakil Ketua MPRS) menyanggah permintaan Aidit dan mengatakan di depan Bung Karno.
Tidak bisa, saya tidak pernah mengajarkan Ansor kekerasan, yang dilakukan Ansor itu membela Rakyat dan peristiwa Kediri itu akibat BTI (Barisan Tani Indonesia, salah satu elemen PKI) yang melakukan aksi sepihak”.
Cerita permintaan pembubaran Ansor itu disampaikan KH. Idham Chalid kepada publik dalam Apel Besar Nahdlatul Ulama yang dilaksanakan di Blitar April 1964 yang dihadiri kader-kader Ansor dan Banser Blitar di bawah kepemimpinan Muhammad Zainuddin Kayubi yang dianggap terlibat dalam Insiden Kediri.
Dalam pidatonya itu, KH. Idham Chalid melanjutkan penjelasan, “dalam waktu dekat Saudara-saudara akan dipanggil Badan Pusat Intelijen (BPI) ke Jakarta. Tapi tidak apa-apa, kamu harus datang”.
Beberapa hari kemudian di Bulan April 1964 Ketua Ansor dan Banser Blitar, Kayubi menemui Ketua lembaga telik sandi yang sangat powerful dan ditakuti waktu itu, DR. Soebandrio yang didampingi sekretaris BPI, Mayjend Soetarto.
Kayubi sendiri didampingi Pengurus Wilayah Ansor Jawa Timur, Kun Solehudin dan Hizbullah Huda serta diantar Pimpinan Pusat Ansor Yahya Ubaid (Ketua), Chalid Mawardi (Sekjend Ansor) dan KH. Yusuf Hasyim (PBNU).
Dalam pertemuan tersebut Soebandrio mengatakan kepada rombongan Ansor dan Banser, “Anda tahu, anda ini kalah dalam urusan intelijen dengan PKI, PKI tahu posisi anda disini, posisi Pak Idham dimana, tapi anda tidak tahu posisi Aidit dimana.
Kamu nggak benar melakukan ini (bentrok di Kediri)” Pernyataan Soebandrio ini langsung dibantah oleh Kun Solehudin dan Hisbullah Huda sambil memberikan “Buku Putih” yang sudah disiapkan oleh Kayubi berisi penjelasan kronologi peristiwa Kediri.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa Ansor dan Banser hingga kini tetap tegak berdiri mengawal NKRI.