Oleh: Novita Sari Yahya
Pendahuluan: Ketika Nalar Sehat Diuji
MEDIA WARTA NASIONAL | JAKARTA – Berita mengenai terpaparnya 68 anak Indonesia oleh ideologi white supremacy dan neo-Nazi sebagaimana diberitakan Kompas pada akhir Desember 2025 bukan sekadar kabar mengejutkan, melainkan sebuah peringatan keras bagi kewarasan kolektif bangsa. Bagaimana mungkin paham rasial ekstrem yang lahir dari konteks sejarah Eropa, dengan akar ideologis yang begitu asing bagi realitas sosial Indonesia, justru menemukan lahan subur di benak anak-anak dan remaja negeri ini?
Baca Juga:
Selama puluhan tahun, narasi ancaman ideologi di Indonesia nyaris selalu mengarah pada dua kutub: radikalisme berbasis agama dan komunisme sebagai bahaya laten. Negara, masyarakat, bahkan kurikulum pendidikan dibangun dengan asumsi bahwa ancaman ideologis selalu datang dari dua arah tersebut. Namun realitas sosial terus bergerak. Ketika negara sibuk menjaga pintu lama, ideologi baru masuk melalui jendela digital, tanpa disadari dan tanpa penyaring.
Kemunculan white supremacy dan neo-Nazi di Indonesia menandai perubahan serius dalam pola radikalisasi generasi muda. Ini bukan lagi persoalan ideologi politik klasik, melainkan krisis identitas, psikologi remaja, dan kegagalan literasi sejarah serta kemanusiaan.
White Supremacy dan Neo-Nazi: Ideologi Kekerasan Berbasis Superioritas
White supremacy adalah paham yang meyakini bahwa ras kulit putih lebih unggul dibandingkan ras lain, baik secara biologis, budaya, maupun moral. Ideologi ini melahirkan berbagai bentuk diskriminasi, segregasi, hingga kekerasan massal.
Dalam sejarah modern, puncak paling brutal terwujud dalam rezim Nazi di bawah Adolf Hitler, yang mempraktikkan genosida terhadap jutaan manusia dengan dalih kemurnian ras.
Neo-Nazi adalah bentuk mutakhir dari ideologi tersebut. Neo Nazi tidak lagi tampil dalam seragam militer atau simbol negara, melainkan bersembunyi di balik forum daring, meme, musik ekstrem, video gim, dan algoritma media sosial. Ideologi ini menjelma sebagai gaya hidup, identitas tandingan, dan simbol perlawanan palsu terhadap dunia yang dianggap tidak adil.
Pertanyaan paling ekstrem sekaligus paling mendasar adalah: mengapa satu kelompok manusia merasa berhak menundukkan, menyingkirkan, bahkan memusnahkan kelompok lain hanya karena perbedaan ras? Pertanyaan ini telah menjadi bahan kajian panjang dalam psikologi sosial, filsafat moral, dan ilmu pendidikan. Jawabannya hampir selalu bermuara pada satu titik: ketakutan yang disublimasikan menjadi kebencian, lalu dilegalkan sebagai superioritas.
Remaja sebagai Sasaran: Psikologi Pubertas dan Krisis Kendali Diri
Fakta bahwa sasaran utama penyebaran ideologi ini adalah remaja seharusnya tidak mengejutkan. Masa pubertas adalah fase pencarian jati diri, di mana emosi belum stabil, kontrol diri belum matang, dan kebutuhan akan pengakuan sangat tinggi. Dalam kondisi ini, ideologi yang menawarkan rasa unggul, identitas eksklusif, dan musuh bersama menjadi sangat menggoda.
Supremasi dan neo-Nazi berkembang subur ketika ego, ambisi, dan frustrasi bertemu dengan ruang digital tanpa pengawasan. Media sosial memperlihatkan kekerasan, perundungan, dan glorifikasi dominasi sebagai sesuatu yang normal, bahkan keren. Ketika pelajar dan mahasiswa mulai melakukan kekerasan, merasa berhak menundukkan orang lain, dan mengaburkan batas antara hak publik dan hak pribadi, maka sejatinya alarm supremasi telah berbunyi.
Perilaku semacam ini tidak selalu muncul dalam bentuk ideologi eksplisit. Ia sering hadir sebagai sikap sewenang-wenang, antiempati, tidak taat hukum, dan merasa diri paling benar. Dalam konteks inilah neo-Nazi tidak selalu memakai simbol swastika, tetapi hadir sebagai mentalitas menindas.
Syahrir, Feodalisme, dan Ketakutan Akan Fasisme
Jauh sebelum istilah white supremacy populer di Indonesia, Sutan Sjahrir telah mengingatkan bahaya mental feodalisme yang berpadu dengan fasisme. Dalam refleksinya pada masa pendudukan Jepang dan periode bersiap pascakemerdekaan, Sjahrir mengkritik keras pendidikan yang hanya melatih baris-berbaris, ketaatan tidak rasional dan penggunaan otot, bukan nalar dan empati.
Bagi Sjahrir, feodalisme bukan sekadar struktur sosial, melainkan mentalitas tunduk dan menindas. Ketika mental ini bertemu dengan fasisme, lahirlah generasi yang mudah diarahkan pada kekerasan kolektif. Kekhawatiran ini terbukti relevan hingga hari ini. Supremasi rasial, meski berbeda konteks, berangkat dari logika yang sama: menghapus kemanusiaan orang lain demi keunggulan semu.
Pandangan ini sejalan dengan gagasan Mohammad Hatta, yang menekankan pentingnya kaderisasi dan pendidikan karakter. Bagi Hatta, demokrasi tidak akan bertahan tanpa manusia yang berkarakter, berpikir rasional, dan memiliki tanggung jawab moral.
Putin dan Neo-Nazi: Ketakutan yang Menjadi Kebijakan Negara
Apa yang selama ini disampaikan Presiden Rusia Vladimir Putin tentang bahaya neo-Nazi, khususnya di kawasan Eropa Timur, sering kali dianggap sebagai propaganda politik. Namun, perkembangan ideologi ekstrem berbasis supremasi ras di berbagai negara menunjukkan bahwa ketakutan tersebut ada kebenarannya.
Di Rusia, negara mengambil pendekatan keras terhadap simbol, organisasi, dan propaganda neo-Nazi. Regulasi ketat diberlakukan, pengawasan dunia maya diperkuat, dan narasi sejarah Perang Dunia II dijadikan fondasi pendidikan nasional. Rusia memosisikan neo-Nazi bukan sekadar sebagai perbedaan pendapat, melainkan ancaman terhadap kemanusiaan dan memori kolektif bangsa.
Tentu, pendekatan Rusia tidak bisa ditiru oleh Indonesia yang memiliki tradisi demokrasi dan kebebasan sipil berbeda. Namun satu hal penting dapat dipetik: negara tidak boleh abai terhadap ideologi yang merusak fondasi kemanusiaan.
Indonesia di Persimpangan: Negara, Pendidikan, dan Ketahanan keluarga.
Jika benar white supremacy dan neo-Nazi mulai berkembang di kalangan remaja Indonesia, maka persoalannya bukan semata penegakan hukum, melainkan krisis pendidikan dan pola pengasuhan anak. Indonesia adalah bangsa multiras, multietnis, dan multikultural. Ideologi supremasi ras bukan hanya bertentangan dengan Pancasila, tetapi juga mengancam kohesi sosial.
Negara perlu keluar dari pola lama yang hanya reaktif terhadap ideologi tertentu. Literasi digital, pendidikan sejarah kritis, penguatan pendidikan karakter, serta keterlibatan keluarga dan komunitas menjadi kunci. Anak-anak tidak cukup diajarkan apa yang harus dibenci, tetapi mengapa kemanusiaan harus dijaga.
Lebih dari itu, media sosial harus diperlakukan sebagai ruang publik yang memerlukan etika, bukan sekadar pasar bebas algoritma. Tanpa upaya serius, generasi muda akan terus menjadi sasaran ideologi kekerasan yang dibungkus dengan estetika modern.
Penutup: Menjaga Akal Sehat Bangsa
Terpaparnya anak-anak Indonesia oleh white supremacy dan neo-Nazi adalah cermin dari kelalaian kolektif. Ini bukan sekadar kesalahan individu, melainkan kegagalan sistemik dalam mendidik, mengawasi, dan membangun pembentukan karakter manusia Indonesia. Sejarah telah menunjukkan ke mana ideologi superioritas bermuara: kehancuran, genosida, dan penyesalan panjang.
Indonesia tidak kekurangan nilai, tokoh, dan pengalaman sejarah untuk melawan ideologi semacam ini. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk membaca zaman, memperbarui pendekatan, dan mengakui bahwa ancaman ideologis hari ini tidak selalu datang dari masa lalu, tetapi dari masa depan yang salah arah.
Daftar Pustaka
Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. New York: Harcourt, Brace & Company.
Bauman, Z. (2016). Strangers at our door. Cambridge: Polity Press.
Diantono, S. (2025, 30 Desember). Kabareskrim: 68 anak Indonesia terpapar neo-Nazi dan white supremacy. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2025/12/30/14550171/kabareskrim-68-anak-indonesia-terpapar-neo-nazi-dan-white-supremacy
Fromm, E. (1973). The anatomy of human destructiveness. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Hatta, M. (1960). Demokrasi kita. Jakarta: Pustaka Antara.
Hatta, M. (2011). Demokrasi kita (Edisi cetak ulang). Depok: UI Press.
Ministry of Education of the Russian Federation. (2023). Federal State Educational Standard: Patriotic education guidelines. Moscow.
Russian Federation. (2014). Federal Law No. 128-FZ on amendments to certain legislative acts of the Russian Federation (Law against rehabilitation of Nazism). Moscow: Government of the Russian Federation.
Sjahrir, S. (1947). Out of exile. Amsterdam: Querido.
Sjahrir, S. (1988). Renungan Indonesia Merdeka (Edisi terjemahan dan cetak ulang). Jakarta: LP3ES.


















