Oleh : Redaksi
MEDIA WARTA NASIONAL | SUKABUMI – Praktik dugaan rekayasa gugatan cerai yang mencatut nama seorang istri tanpa persetujuan dan sepengetahuannya dinilai sebagai pelanggaran serius terhadap hukum perkawinan di Indonesia. Kasus yang menimpa Siska menjadi sorotan publik dan dipandang perlu menjadi pelajaran penting dalam penegakan hukum keluarga.
Baca Juga:
Di Indonesia, perceraian hanya dapat dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah atau berdasarkan ketentuan agama yang kemudian diputuskan oleh pengadilan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tegas menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilaksanakan di hadapan sidang pengadilan dengan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Oleh karena itu, setiap bentuk perceraian yang direkayasa tanpa persetujuan salah satu pihak, khususnya istri, berpotensi dinyatakan tidak sah dan dapat dibatalkan oleh pengadilan.
Dalam konteks tersebut, istri yang dirugikan memiliki sejumlah langkah hukum yang dapat ditempuh, antara lain mencari bantuan hukum dari advokat atau lembaga bantuan hukum yang kompeten, melaporkan dugaan pelanggaran kepada pihak berwenang seperti Pengadilan Agama dan Kepolisian, serta mengajukan gugatan untuk membatalkan perceraian yang dilakukan tanpa persetujuan yang sah.
Maimunah Yuliana Mahmud, SE., M.Si., menyatakan bahwa kliennya, Siska, telah mempercayakan penanganan perkara tersebut kepada Kantor Hukum Suta Widhya, S.H. Ia menegaskan bahwa pihaknya telah mendampingi Siska melapor ke Polres Sukabumi atas dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263, Pasal 266, dan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Klien kami, Siska, telah mempercayakan penanganan perkara ini kepada Kantor Hukum Suta Widhya, S.H. Kami mendampingi Siska melapor ke Polres atas dugaan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam KUHP,” ujar Maimunah kepada wartawan, Rabu (17/12) siang di Sukabumi.
Sementara itu, Ade menegaskan bahwa secara normatif hukum perkawinan tidak memberikan ruang bagi perceraian sepihak yang direkayasa. Menurutnya, apabila terbukti adanya manipulasi atau pemalsuan dalam proses penerbitan akta cerai, maka tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana maupun administratif.
Kasus dugaan akta cerai palsu yang dilaporkan Siska ke Polres Sukabumi hingga kini masih dalam tahap penyelidikan. Berdasarkan informasi yang berkembang, terdapat dugaan keterlibatan oknum staf di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi, dalam proses tersebut.
Wakil Kepala KUA Kecamatan Surade, Aden, mengakui adanya kemungkinan kelalaian internal yang melibatkan stafnya. Ia menyatakan kesiapan institusinya untuk membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus ini secara objektif dan transparan.
Fakta bahwa Siska tidak pernah mengajukan gugatan cerai, serta tidak pernah memberikan surat kuasa yang sah kepada pihak mana pun untuk mengajukan gugatan atas namanya, memperkuat dugaan bahwa seluruh proses perceraian tersebut direkayasa oleh pihak-pihak tertentu.
Ade menyampaikan bahwa pihaknya telah mendampingi Siska ke Polres Sukabumi pada Rabu (12/11) sore lalu. Ia berharap aparat kepolisian dapat mengusut perkara ini secara menyeluruh dan menuntaskan pertanyaan mendasar yang mengemuka, yakni bagaimana mungkin akta cerai dapat terbit di Pengadilan Agama Sukabumi tanpa adanya gugatan resmi dari pihak istri.

















