Redaksi
MEDIA WARTA NASIONAL | BEKASI Kematian seorang anak akibat gizi buruk di Rumah Sakit Ananda Bekasi menyisakan potret buram peran negara di tengah musibah rakyat. Putri Ayudia Inara, bocah delapan tahun asal Desa Satria Mekar, Tambun Utara, Bekasi ini mengembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Ananda, Babelan, pada Sabtu, 9/08/2025. Ironisnya, alih-alih mendapat perlindungan negara, keluarga justru dipaksa berhadapan dengan tagihan rumah sakit senilai Rp: 29 juta.
Baca Juga:
Kasus ini menampar wajah Pemerintah Kabupaten Bekasi. Sebab, sejak 2022 pemerintah pusat sudah mengalokasikan dana jumbo, Rp44,8 triliun, untuk percepatan pencegahan stunting. Dana itu tersebar di 17 kementerian/lembaga senilai Rp34,1 triliun, ditambah kucuran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik Rp8,9 triliun serta DAK non-fisik Rp1,8 triliun. Pertanyaan yang mengemuka: jika anggaran sebesar itu benar-benar digelontorkan, lalu ke mana larinya dana stunting di Kabupaten Bekasi?
Pertanyaan makin tajam setelah diketahui permohonan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) untuk Putri ditolak Dinas Kesehatan Bekasi. Padahal, Pemerintah Desa Satria Mekar sudah mengeluarkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk keluarga. Namun, di loket Dinkes, pengurus RW mewakili keluarga Putri, (Rijal Firdaus), hanya menerima jawaban dingin. “Kami tidak bisa memberikan Jamkesda karena ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta,” kata Tama petugas loket, Selasa, 12/08/ lalu.
Padahal, penyakit gizi buruk semestinya masuk prioritas bantuan, terlepas dari status pekerjaan orang tua. Di rumah kontrakannya Rijal hanya bisa tertegun, sementara tagihan Rp29 juta menggantung di kepalanya.
Surat Terbuka Seorang Ayah
Dalam keputusasaan, Rijal menulis surat terbuka. Isinya ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dan Bupati Bekasi. Ia bercerita bagaimana putrinya, sejak kecil menderita gizi buruk, TB paru, hingga komplikasi lain, sebagaimana tercatat di Puskesmas Sriamur. Kondisi Putri kian memburuk pada Jum’at 08/08/2025 hingga harus dirawat di RS Ananda. Hanya 24 jam setelah masuk perawatan, nyawanya melayang.
Kesedihan itu bertambah dengan tagihan biaya rumah sakit Rp: 29 juta. Sebagai buruh swasta bergaji UMR Jakarta dan ayah dari enam anak, Rijal jelas tak sanggup. Bahkan jenazah Putri sempat tertahan karena Ia tak bisa melunasi. Dalam panik, Ia meminjam uang Rp:10 juta dari rekan kerja. Namun, uang itu dianggap rumah sakit sebagai “deposit”, bukan pembayaran tagihan.
Negara Absen, Rakyat Menjerit
Kisah keluarga Rijal menegaskan betapa rapuhnya jaring pengaman sosial di daerah. Pemerintah pusat boleh menggelontorkan triliunan rupiah untuk program stunting. Namun di lapangan, warga miskin masih dibiarkan terjerat utang rumah sakit, bahkan ketika anak mereka meregang nyawa akibat gizi buruk.
“Negara harus hadir,” tulis Rijal menutup suratnya. Ia berharap gubernur dan bupati turun tangan meringankan beban keluarganya. Baginya, bukan hanya soal melunasi utang, melainkan memastikan bahwa tragedi serupa tidak terulang.
Karena terus diminta membayar biaya rumah sakit oleh pihak Kasir Rumah Sakit Ananda, Yuni ibu dari Puteri akhirnya mendatangi Rumah Sakit Ananda Jum’at 19/08/2025 ditemani pengurus RW yang juga Ketua Umun Forum Penulis dan Wartawan Indonesia (Forum PWI) Rukmana, S.Pd,I., CPLA, guna musyawarah penyelesaian administrasi rumah sakit.
Dalam pertemuan tersebut keluarga pasien ditemui kepala bagian keuangan Perusahaan Ananda Group Hendra, kedua belah pihak melakukan musyawarah dan negosiasi yang cukup alot.
Ketum Forum PWI Rukmana meminta agar management RS Ananda memberi keringanan biaya berdasarkan status almarhum.
“Puteri ini pasien gizi buruk yang seharusnya mendapatkan prioritas bantuan dari pemerintah termasuk rumah sakit negeri maupun swasta, dan keluarga adalah dari kalangan tidak mampu walau kepala keluarga bekerja di perusahaan swasta namun gaji yang diterima tidak cukup untuk menghidupi enam orang anaknya, rumah saja mereka ngontrak”, terangnya.
elalui diskusi inilah mereka sepakat bahwa biaya yang semula ditagihkan senilai Rp: 29 juta dikurangi menjadi Rp: 15 juta saja.
“Kami tidak pernah mempersulit pasien, apalagi jika pasien sudah jelas – jelas tidak mampu bayar, kami pasti memberikan keringanan dan kemudahan”, ujar Hendra dalam diskusi tersebut.
Lanjut Hendra, selama 13 tahun saya bekerja disini (Rs Ananda) baru kali ini saya memberikan keringanan sampai 50 %, semoga keluarga diberikan ketabahan dalam menghadapi musibah ini, tutup Hendra.