Oleh: redaksi
Media Warta Nasional|Jakarta – Merespon penetapan hasil Pemilu 2024 oleh KPU (20/3/2024), Asosiasi Mahasiswa Hukum Tata Negara Se-Indonesia (AMHTN-SI) mempertanyakan legitimasi keabsahannya. Hal tersebut mengingat para Penyelenggara Pemilu tahun ini tersandung pelanggaran etik.
“Ya tentu kita pertanyakan, semua penyelenggaranya tersandung pelanggaran etik, nah apakah Pemilu kali ini bener-benar legitimate dan absah sehingga keputusan KPU itu bisa diterima oleh rakyat,” Tulis Koordinator Pengurus Humas AMHTN-SI, Tri Rahmadona melalui rilis persnya Kamis (21/3/2024).
Ia memaparkan sejauh ini Ketua KPU Republik Indonesia (RI) Hasyim Asy’ari telah terbukti melanggar etika sebanyak empat kali. Salah satu diantaranya, Pada 5 Februari 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengeluarkan putusan bahwa para komisioner KPU terbukti melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden Pemilu 2024.
Selain itu, teranyar 20/03/2024, DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan kepada jajaran Bawaslu RI lantaran tidak menindaklanjuti laporan warga terkait dugaan pelanggaran Pemilu kampanye politik yang dibungkus agenda silaturahim Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) oleh pasangan calon nomor urut dua.
Menurut Tri Rahmadona, fenomena tersebut memiliki dampak yang serius terhadap keabsahan proses dan hasil Pemilu. “Jika proses penyelanggaraannya sudah cacat sedari awal, kata dia, keputusan yang dihasilkan pun menjadi cacat dengan sendirinya proses akan menentukan hasil”, katanya.
“Iya kita tidak ingin terjebak pada demokrasi prosedural dan seremonial belaka. Artinya, jika proses Pemilu dijalankan di luar kaidah yang berlaku, saya katakan bahwa hasil Pemilu 2024 oleh KPU menjadi kehilangan legitimate,” imbuhnya.
Dengan demikian, dia mendorong penggunaan hak konstitusional yang dilekatkan baik terhadap perseorangan maupun secara kelembagaan untuk mengukur dan menginvestigasi legalitas dan keabsahan dari penyelenggaraan Pemilu kali ini.
Ia juga menyinggung sistem pemerintahan, dalam sistem presidensil seperti di Indonesia, kekuasaan masing-masing lembaga berada dalam posisi independensi yang kuat. Hal ini mendorong terciptanya iklim kontrol kelembagaan yang kuat jika memang fungsionalisasi antar lembaga bejalan baik.
Tri Rahmadona menyebut, selain lembaga yudikatif untuk memutus hasil sengketa Pemilu, lembaga legislatif juga perlu memastikan apakah penyelenggaraan undang-undang sudah sesuai dan benar.
“Kita berharap baik pada pembangunan iklim demokrasi yang konstitusional di mana kewenangan dan kekuasaan diawasi dan dikontrol sebaik mungkin,” pungkasnya.