Oleh : Redaksi
“Pers harus menghormati norma agama dan norma kesusilaan.”
MEDIA WARTA NASIONAL | BEKASI – Peringatan Hari Santri 22 Oktober 2025 berlangsung di tengah suasana kebatinan yang muram di kalangan pesantren. Dalam beberapa tahun terakhir, lembaga pendidikan Islam ini kerap menjadi sasaran framing negatif sejumlah media nasional ironisnya, oleh redaksi yang diisi jurnalis-jurnalis berpendidikan tinggi, namun alpa pada etika profesi.
Baca Juga:
Kasus yang paling mencolok terjadi pada 2023. Stasiun televisi TV One menyoroti Pondok Pesantren Al-Zaytun di Indramayu dengan framing yang menodai citra pesantren sebagai lembaga pendidikan — bahkan pelopor pendidikan Islam di Nusantara. Padahal, keberadaan pesantren telah mendapat perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
UU tersebut lahir sebagai bentuk rekognisi negara terhadap eksistensi pesantren yang sudah mengakar jauh sebelum Indonesia merdeka. Ia bukan sekadar pengakuan, melainkan juga afirmasi dan fasilitasi bagi pesantren agar dapat berperan lebih luas dalam pembangunan bangsa.
Sebelum itu, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dianggap belum cukup mengakomodasi kearifan lokal pesantren. Data Kementerian Agama tahun 2018 mencatat, jumlah pesantren mencapai 28.194 unit di seluruh Indonesia. Jumlah yang mencerminkan betapa besarnya peran dunia santri dalam mencerdaskan bangsa.
Namun, fakta di lapngan, perlindungan yang dijanjikan undang-undang itu terasa jauh dari harapan. Framing negatif terhadap Al-Zaytun menjadi contoh konkret. TV One, dalam sejumlah liputan, menampilkan narasumber yang bukan bagian dari pesantren, lalu mempopulerkan opini bahwa Al-Zaytun sesat dan menyimpang dalam pengelolaan dana. Bahkan, pelaksanaan ibadah shalat di pesantren itu disorot sebagai “tidak lazim”, padahal Islam mengenal empat mazhab besar Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yang masing-masing memiliki keyakinan tersendiri dalam praktik ibadah.
Kekeliruan itu makin parah ketika Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas melontarkan tudingan bahwa Panji Gumilang, pimpinan Al-Zaytun, adalah seorang komunis — hanya berdasar cuplikan video TikTok. “Ironis, seorang ulama yang mestinya menjunjung tinggi tabayun justru terjebak pada prasangka digital,” ungkap Rukmana, Ketua Umum Forum Penulis dan Wartawan Indonesia (Forum PWI).
Negara pun diam. UU Pesantren seperti puisi indah tanpa makna. Kementerian Agama bungkam, begitu pula Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Bupati Indramayu Nina Agustina, yang selama ini menerima pajak dari Al-Zaytun hingga Rp500 juta.
Bahkan, Ridwan Kamil justru melaporkan Al-Zaytun ke Menkopolhukam Mahfud MD, dengan tudingan mengumpulkan dana ilegal dan melakukan penyimpangan ajaran. Padahal, sehari sebelumnya, Panji Gumilang memenuhi undangan klarifikasi dari Ridwan Kamil namun sang gubernur tak hadir. Esoknya, Ridwan Kamil muncul dalam konferensi pers bersama Mahfud MD, membawa narasi hukum yang mendiskreditkan Al Zaytun tanpa dasar bukti kuat.
Dampaknya fatal. Rekening pendidikan dibekukan, aktivitas pesantren terhambat, dan Panji Gumilang diproses hukum dengan tuduhan keonaran serta pelanggaran UU ITE. Sebuah tragedi yang menunjukkan bagaimana negara abai menegakkan UU Pesantren dan nilai Pancasila yang menjamin kebebasan beribadah dan pendidikan.
Peristiwa itu bukan satu-satunya. Pesantren Lirboyo di Kediri juga menjadi sasaran framing negatif. Program “Xpose Uncensored” di Trans7, tayang 13 Oktober 2025, menyoroti KH Anwar Manshur pendiri Pesantren Hidayatul Mubtadiat Kompleks Lirboyo dengan narasi berlebihan. Tayangan itu menggambarkan penghormatan santri kepada kiai sebagai bentuk “feodalisme” warisan kolonial.
Reaksi keras pun bermunculan. Santri dan alumni pesantren di seluruh Indonesia menyerukan tagar #BoikotTrans7. Kalangan Nahdlatul Ulama pun mengecam keras framing yang dianggap menghina tradisi pesantren.
Di tengah kegaduhan itu, Ketua Umum Forum Penulis dan Wartawan Indonesia (Forum PWI), Rukmana S.Pd.I., CPLA, angkat bicara. Dalam peringatan Hari Santri 22 Oktober 2025, ia mengingatkan insan pers agar kembali ke rel etika dan hukum pers.
“Pers nasional berkewajiban menyajikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat, serta asas praduga tak bersalah,” ujar Rukmana mengutip Pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, di kantor Forum PWI, Jalan Ratna, Kota Bekasi.
Menurutnya, penghormatan terhadap norma agama adalah konsekuensi logis dari UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29, yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah. “Indonesia adalah negara majemuk. Pers tidak boleh menghujat atau merendahkan norma agama apa pun,” tegasnya.
Rukmana juga menegaskan, TV One dan Trans7 harus menghentikan program yang mem-framing negatif pesantren, menyamakan budaya santri dengan feodalisme, apalagi menuduh pesantren sebagai sarang radikalisme atau mempersoalkan sumber dana sumbangan umat.
“Pers semestinya menjadi pilar keadilan, bukan alat persekusi terhadap lembaga pendidikan keagamaan. Mengkriminalisasi pesantren sama saja menistakan akar kebudayaan bangsa,” pungkasnya.