Reporter: Rigson
Editor: Wiratno
MEDIAWARTANASIONAL.COM | JAKARTA – Perjuangan panjang Devi Taurisa dalam mencari keadilan akhirnya membawanya ke Sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri di Polda Metro Jaya, Selasa (25/3/2025). Sidang ini menyoroti pelanggaran kode etik yang diduga dilakukan oleh AKP Kuswadi, terkait dengan kasus yang telah menyeret Devi selama delapan tahun tanpa kepastian hukum.
Baca Juga:
Devi hadir sebagai saksi dalam sidang ini dan mengungkap berbagai kejanggalan hukum yang selama ini dialaminya. Meskipun mengaku telah memaafkan pihak-pihak terkait, ia tetap berjuang untuk mencari keadilan dan kejelasan atas kasus yang ia laporkan sejak 2017.
Kasus P21 yang Tiba-Tiba SP3: Kejanggalan Hukum yang Tak Masuk Akal.
Dalam persidangan, Devi mengungkap fakta mengejutkan: kasusnya yang sudah dinyatakan P2, artinya berkas sudah lengkap dan seharusnya berlanjut ke penyerahan tersangka—justru berakhir dengan SP3 setelah tersangka mengajukan praperadilan.
“Seharusnya setelah P21, kasus langsung berlanjut ke penyerahan tersangka. Tapi anehnya, tersangka justru bisa mengajukan praperadilan. Bahkan, dalam sidang praperadilan tersebut, kasus saya dihentikan dengan SP3,” ujar Devi dengan nada kecewa.
Lebih mengejutkan lagi, hakim yang mengabulkan praperadilan tersebut, Arlandi Triyogo, ternyata terbukti melanggar kode etik berdasarkan putusan Komisi Yudisial Republik Indonesia. Hal ini tertuang dalam Petikan Putusan Nomor 0158/L/KY/IX/2019 tertanggal 6 April 2020. Namun, meskipun rekam jejak hakim dipertanyakan, keputusannya tetap dijalankan.
“Ini produk hukum yang katanya harus dijalankan, tapi bagaimana jika hakim yang memutuskan justru melanggar kode etik? Ini tidak fair,” tegas Devi.
Menurutnya, praperadilan seharusnya hanya menilai sah atau tidaknya penangkapan tersangka, bukan justru masuk ke dalam materi pokok perkara. Namun, dalam kasusnya, hakim justru melampaui kewenangannya dengan menyatakan bahwa tidak ada pemalsuan tanda tangan, meskipun saksi yang digunakan memiliki konflik kepentingan.
Dari Korban Menjadi Tersangka: Gugatan Fantastis Rp1 Triliun.
Setelah kasusnya dihentikan dengan SP3, Devi justru berbalik dituduh mencemarkan nama baik. Tak hanya itu, ia juga digugat dalam kasus perdata dengan tuntutan yang fantastis:
– Rp301 miliar untuk kerugian materiel
– Rp1 triliun untuk kerugian immateriel
Di Pengadilan Negeri , gugatan ini ditolak. Namun, kejutan datang dari Pengadilan Tinggi dan Kasasi, yang justru mengabulkan sebagian gugatan dan menghukum Devi membayar:
– Rp500 juta sebagai kerugian materiel
– Rp10 miliar sebagai kerugian immateriel
Namun, perjuangan panjang Devi akhirnya membuahkan hasil. Pada 10 Juli 2023, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya dan menolak gugatan terhadapnya.
Terungkap! Dugaan Skandal Besar di Balik Kasus Ini.
Kasus yang menyeret Devi berawal dari dugaan pemalsuan tanda tangannya. oleh Budi Santoso, yang saat itu menjabat sebagai direktur PT Batavia Land. Perusahaan ini mengelola bisnis Hotel MaxOne di Jalan Agus Salim (Sabang), Menteng, Jakarta Pusat, di mana Devi memiliki 30% saham.
Dugaan pemalsuan ini diduga dilakukan untuk mengajukan pinjaman kredit sebesar Rp300 miliar ke PT Bank QNB Indonesia Tbk, dengan Hotel MaxOne sebagai jaminan.
Masalah ini terungkap ketika Bank QNB hendak menyita Hotel MaxOne akibat gagal bayar.
Dari sinilah Devi menyadari bahwa bukan hanya tanda tangannya yang dipalsukan, tetapi aset hotelnya juga telah dialihkan secara diam-diam, bahkan diduga menghasilkan keuntungan Rp500 juta per bulan tanpa sepengetahuannya.
Kasus ini masih terus bergulir, dan publik menantikan kejelasan hukum atas dugaan skandal besar ini.
Apakah keadilan akhirnya akan berpihak pada Devi setelah bertahun-tahun berjuang?Waktu yang akan menjawab.