Reporter: Ramdhani
Editor: Wiratno
Baca Juga:
MEDIA WARTA NASIONAL | JAKARTA – Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan tersebut terdaftar dengan Nomor Perkara 145/PUU-XXIII/2025.
Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan digelar di Gedung MK, Jakarta, pada Rabu (27/8/2025).
Dalam sidang itu, Koordinator Tim Hukum Iwakum, Viktor Santoso Tandiasa, menyampaikan bahwa ketentuan dalam Pasal 8 dan penjelasannya dianggap bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi wartawan.
“Kami mengajukan pengujian terhadap Pasal 8 dan bagian penjelasannya yang kami nilai multitafsir dan membuka ruang kriminalisasi terhadap wartawan,” ujar Viktor dalam persidangan.
Sekretaris Jenderal Iwakum, Ponco Sulaksono, menjelaskan bahwa sebagai organisasi berbadan hukum, Iwakum merasa memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara ini. Iwakum, kata dia, mengkhawatirkan kerugian konstitusional yang nyata atau setidaknya potensial akan terjadi terhadap anggotanya.
“Banyak anggota kami yang berpotensi dikriminalisasi atas karya jurnalistik yang mereka hasilkan. Pasal 8 ini tidak cukup kuat untuk memberikan perlindungan ketika mereka bekerja sesuai kode etik,” kata Ponco.
Sementara itu, Ketua Umum Iwakum, Irfan Kamil, menyebut bahwa ketentuan dalam Pasal 8 seharusnya menjamin perlindungan hukum, bukan justru menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Kami menilai norma ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan perlindungan hak asasi sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945,” ujar Irfan.
Sebagai contoh, Irfan menyinggung kasus wartawan Muhammad Asrul di Palopo, Sulawesi Selatan, yang divonis bersalah atas pemberitaannya mengenai dugaan korupsi anak Wali Kota Palopo. Padahal, menurut Dewan Pers, tulisan Asrul merupakan produk jurnalistik.
Irfan juga menyoroti kekerasan terhadap jurnalis saat meliput unjuk rasa, termasuk insiden terbaru pada Senin (25/8/2025), ketika sejumlah wartawan mengalami kekerasan fisik dan perusakan alat kerja oleh aparat keamanan.
“Situasi ini menciptakan efek gentar yang membuat wartawan enggan menulis isu-isu sensitif seperti korupsi dan pelanggaran HAM,” ucapnya.
Dalam petitumnya, Iwakum meminta MK menyatakan bahwa Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 UU Pers bertentangan secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika dimaknai tidak melibatkan Dewan Pers dalam proses hukum terhadap wartawan.
Selain itu, Iwakum meminta agar proses pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah ada rekomendasi atau izin dari Dewan Pers, selama wartawan menjalankan tugas sesuai kode etik jurnalistik.
Majelis Hakim MK yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan didampingi hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh serta Guntur Hamzah memberikan beberapa catatan atas permohonan tersebut dan menjadwalkan sidang lanjutan pada 9 September 2025.