Reporter : Ramdhani
Editor : Rukmana
Baca Juga:
MEDIA WARTA NASIONAL | jAKARTA – Hakim nonaktif Dr. Djuyamto SH, MH, mengakui kesalahannya dalam perkara dugaan suap terkait putusan onzlagh atau lepas dalam kasus korupsi korporasi minyak goreng (migor). Pengakuan itu ia sampaikan dalam nota pembelaan (pledoi) berjudul “Mengakui Kesalahan Adalah Pembelaan Terbaik: Terpeleset oleh Licinnya Minyak Goreng”, yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Sidang dengan majelis hakim yang dipimpin Effendi SH, MH, itu digelar untuk lima terdakwa yang terjerat perkara serupa. Dalam pledoinya, Djuyamto meminta majelis hakim agar menjatuhkan putusan berdasarkan alat bukti, keterangan saksi, dan fakta hukum yang terungkap selama persidangan, bukan karena tekanan opini publik.
“Saya menyadari bahwa kesalahan fatal ini telah menghancurkan karier panjang saya sebagai hakim selama 23 tahun,” ujar Djuyamto dengan nada haru di hadapan majelis hakim.
Mantan Ketua Pengadilan Negeri Dompu itu mengaku “terpeleset” dalam perkara suap terkait korporasi minyak goreng bukan karena keserakahan, melainkan karena kekhilafan dan tekanan moral dalam membantu kegiatan sosial dan keagamaan.
“Sekitar 85 persen dari uang tersebut saya gunakan untuk mendukung pembangunan kantor MWC NU Kartasura, pembuatan Wayang Babad Kartasura, dan pelestarian budaya daerah,” ujarnya.
Djuyamto menjelaskan, pemberian uang itu terjadi atas inisiatif pihak yang berkepentingan terhadap perkara, bukan atas permintaan dirinya maupun anggota majelis hakim lainnya. Ia menegaskan, sejak awal penyidikan dirinya bersikap kooperatif dan telah mengembalikan seluruh uang yang diterima.
“Itikad baik saya dilandasi rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam,” katanya.
Dalam pembelaannya, Djuyamto memohon agar majelis hakim mempertimbangkan kejujuran, pengakuan kesalahan, serta rekam jejak pengabdiannya selama ini. Ia mengaku belum pernah dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) maupun Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA), serta tidak pernah dijatuhi sanksi etik atau disiplin.
Djuyamto bahkan menerima Satyalancana Karya Satya XXX dari Presiden RI atas pengabdiannya selama 30 tahun tanpa catatan pelanggaran.
Ia juga mengutip hadis Nabi Muhammad SAW, “Kullu bani Adam khotto’un wa khairul khottoiina at-tawwabun”, yang berarti setiap manusia pasti berbuat salah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi).
Selain itu, Djuyamto menyayangkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung yang dinilainya tidak mempertimbangkan kontribusinya selama bertugas di lingkungan peradilan tindak pidana korupsi.
“Kok jaksa tidak mempertimbangkan perkara-perkara Tipikor yang sudah saya tangani dan telah mengembalikan kerugian keuangan negara hingga triliunan rupiah. Tanpa putusan pengadilan kan tidak bisa dieksekusi aset para terpidana itu,” katanya.
Menurutnya, sepanjang kariernya ia telah memutus sekitar 30 perkara Tipikor sebagai ketua majelis hakim, termasuk perkara besar seperti importasi besi baja, helikopter, Pelindo, kereta api, Bukit Asam, dan Garuda Indonesia.
Di akhir pembelaannya, Djuyamto menyampaikan apresiasi kepada majelis hakim, jaksa, dan tim penasihat hukum yang telah bekerja secara profesional selama persidangan berlangsung.
“Saya berharap majelis hakim menjatuhkan putusan seadil-adilnya, berdasarkan keadilan yang bersumber dari Ketuhanan Yang Maha Esa,” tutupnya.















