Redaksi
MEDIA WARTA NASIONAL | BEKASI – Keberadaan finance atau lembaga pembiayaan di Indonesia harus diawasi secara ketat. Pasalnya, finance – finance ini menerapkan bunga dan denda seenaknya bahkan membuat aturan kredit sesuka hati.
Jika debitur terlambat bayar dua bulan saja, finance akan melakukan pembelokiran nomor kredit. Akibatnya, debitur tidak bisa membayar cicilan, dan jika ingin blokirnya dibuka, debitur harus membayar Rp700 ribu hingga Rp3 juta kepada Head Collector finance tersebut.
Baca Juga:
Alviana Fitri adalah salah satu korban dari tindakan sewenang-wenang Mandiri Finance. Ia mengakui hal ini kepada orang tuanya, Sunarto.
“Anak saya, (Alviana Fitri) diminta Rp700.000 Oleh manager operasional Mandiri Finance untuk membuka blokir agar bisa bayar cicilan. Dan sekarang cicilan sudah lunas, dia (Alviana, red.) harus bayar denda Rp2.500.000 yang kemudian didiskon menjadi Rp1.000.000,” tutur Sunarto kepada wartawan, Jumat, 12/09/2025.
“Perusahaan BUMN kok memeras rakyatnya sendiri,” ujar Sunarto dengan nada kesal.
Sementara itu Ketua Umum Forum Penulis dan Wartawan Indonesia, Rukmana, S.Pd.I., CPLA, kepada awak media mengatakan, “Saya melakukan negosiasi penghapusan denda yang dikenakan kepada Alviana. Namun Mandiri Finance melalui Dicky (salah satu staf manajer) mengatakan, kalau 0 persen tidak bisa pak, kecuali 50–70 persen, karena saya hanya membantu mengajukan saja dan biasanya seperti itu,” ungkap Rukmana menirukan ucapan Dicky, Kamis, 11 September 2025.
“Sebagai BUMN, Mandiri Finance tidak mempunyai empati kepada masyarakat tak mampu. Selain menerapkan denda keterlambatan bayar yang tinggi, juga memeras debitur dengan meminta uang untuk buka blokir sebesar Rp700.000. Ini sudah keterlaluan, dan negara harus memberikan sanksi tegas kepada Mandiri Finance,” tandas Rukmana.
Analisis Regulasi
Praktik pemblokiran akses pembayaran dan pungutan untuk membuka blokir diduga kuat melanggar sejumlah aturan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Fidusia, perusahaan pembiayaan wajib menjamin akses yang adil bagi debitur untuk memenuhi kewajiban kreditnya. Selain itu, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) No. 29/POJK.05/2014 menegaskan perusahaan pembiayaan dilarang memungut biaya yang tidak sesuai kontrak atau tanpa dasar hukum yang jelas.
Kasus Alviana memperlihatkan indikasi pelanggaran prinsip dasar tersebut. Pemblokiran nomor kredit—yang justru menghalangi debitur untuk membayar kewajibannya—bisa dikategorikan sebagai praktik yang bertentangan dengan semangat perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
Surat Kuasa Resmi
Alviana bahkan telah memberikan kuasa penuh kepada Rukmana untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi kredit motor dan pengambilan BPKB motor melalui surat kuasa tertanggal 9 September 2025. Dalam dokumen itu, tercatat identitas kendaraan berupa Honda Matic dengan nomor kontrak kredit 014203012007.
Kuasa tersebut menguatkan langkah hukum yang bisa ditempuh jika praktik pemblokiran dan pungutan liar ini dibawa ke ranah regulator atau penegak hukum.
Kecaman Publik dan Tuntutan Sanksi
Kasus ini menambah daftar panjang dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh perusahaan pembiayaan di Indonesia. Lebih ironis lagi, Mandiri Finance berstatus BUMN yang seharusnya menjadi teladan.
Pertanyaannya kini, sampai kapan negara membiarkan rakyat kecil diperas dengan modus pemblokiran kredit dan denda sepihak?