Oleh: Novita Sari Yahya
Ketika Anak Terlalu Cepat Menjadi Dewasa.
Suatu hari, saya menyaksikan anak-anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar melenggang di atas panggung. Mereka mengenakan busana layaknya orang dewasa, berjalan dengan gaya yang ditiru dari dunia modeling profesional, diiringi sorak sorai dan teriakan orang dewasa yang tampak antusias. Di satu sisi, pemandangan itu terlihat sebagai bentuk ekspresi bakat. Namun, di sisi lain, muncul kegelisahan yang tidak bisa diabaikan: apakah ruang itu benar-benar dirancang untuk kebutuhan tumbuh kembang anak, atau justru menjadi cermin ambisi orang dewasa?
Baca Juga:
Pertanyaan ini penting diajukan di tengah maraknya ajang pencarian bakat anak dan remaja. Dunia panggung, ketika tidak dipahami secara pedagogis, berpotensi mendorong anak melompati tahapan perkembangan emosi dan psikologisnya. Oleh karena itu, diperlukan rujukan yang kuat, tidak hanya dari pengalaman lokal, tetapi juga dari praktik pendidikan negara-negara yang unggul dalam pengembangan sumber daya manusia, seperti Rusia dan Tiongkok (China).
Pedagogi sebagai Fondasi Pendidikan Anak dan Remaja.
Ilmu pedagogi menempatkan anak dan remaja sebagai individu yang berkembang melalui tahapan usia yang jelas. Setiap fase memiliki karakteristik emosional, kognitif, dan sosial yang berbeda. Pendidikan yang baik tidak memaksa anak menjadi “miniatur orang dewasa”, melainkan membantu mereka tumbuh secara bertahap dan seimbang.
Dalam pedagogi modern, perkembangan anak usia dini menekankan pada rasa aman, bermain bermakna, dan eksplorasi tanpa tekanan. Pada usia sekolah dasar, anak mulai belajar struktur, tanggung jawab, dan kerja sama, namun tetap dalam bingkai kegembiraan. Sementara itu, remaja berada pada fase pencarian jati diri, sehingga membutuhkan ruang berekspresi yang dibarengi pendampingan nilai, etika, dan logika berpikir kritis.
Ketika dunia panggung dan kompetisi masuk ke wilayah ini tanpa batasan pedagogis, risiko yang muncul bukan hanya kelelahan fisik, tetapi juga kebingungan identitas dan tekanan psikologis. Oleh sebab itu, setiap program pengembangan bakat seharusnya dibangun di atas pemahaman ilmiah tentang tumbuh kembang manusia.
Rusia: Disiplin, Seni, dan Tahapan Usia yang Tegas.
Rusia dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan yang kuat, khususnya dalam pengembangan seni dan sains. Pendidikan seni, termasuk tari, musik, dan balet, memang diperkenalkan sejak dini. Namun, pengenalan tersebut dilakukan secara bertahap, terstruktur, dan sangat memperhatikan kesiapan fisik serta mental anak.
Sekolah seni di Rusia memiliki kurikulum yang ketat, bukan dalam arti menekan, melainkan dalam menjaga standar perkembangan usia. Anak-anak tidak didorong untuk tampil berlebihan di ruang publik sebelum mereka siap secara teknik dan emosi. Panggung bukan sekadar ruang pertunjukan, melainkan bagian dari proses belajar yang panjang.
Disiplin dalam sistem Rusia bukanlah disiplin yang keras, melainkan konsistensi dalam metode. Anak dilatih memahami proses, bukan sekadar hasil. Inilah yang menjadikan Rusia unggul dalam mencetak individu berprestasi yang matang, tidak hanya terampil, tetapi juga stabil secara mental.
China: Seni, Budaya, dan Pendidikan Karakter Kolektif.
China menawarkan pendekatan berbeda, namun sama kuatnya. Negara ini secara sadar memasukkan seni, termasuk menyanyi dan menari, ke dalam kurikulum sekolah sebagai bagian dari pembentukan karakter dan kebersamaan sosial. Seni tidak diposisikan sebagai ajang individualisme semata, melainkan sebagai sarana membangun disiplin kolektif, rasa hormat, dan identitas budaya.
Revitalisasi tari tradisional, termasuk yang diadaptasi dalam sistem pendidikan China, menunjukkan bahwa seni digunakan sebagai alat pendidikan nilai, bukan sekadar hiburan. Anak-anak diajak memahami makna gerak, sejarah, dan konteks budaya di balik setiap penampilan. Dengan demikian, ekspresi seni menjadi sarana pendidikan intelektual dan moral.
Pendekatan ini memperlihatkan bahwa negara dengan jumlah penduduk besar pun mampu menjaga kualitas sumber daya manusia jika memiliki visi pendidikan yang jelas dan konsisten.
Belajar dari Dunia: Seni Boleh, Tekanan Jangan.
Baik Rusia maupun China memberikan pelajaran penting: seni dan bakat anak perlu difasilitasi, tetapi tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab pedagogis. Menyanyi, menari, dan tampil di panggung bukanlah hal yang salah. Yang menjadi persoalan adalah ketika aktivitas tersebut diarahkan semata-mata pada kompetisi, popularitas, dan kepuasan orang dewasa.
Negara-negara maju memahami bahwa keberhasilan sumber daya manusia tidak lahir dari eksploitasi bakat dini, melainkan dari proses panjang yang menghormati tahapan usia. Anak-anak dilindungi dari tekanan berlebih, sementara remaja dibimbing untuk mengenali potensi dan batas dirinya.
Konteks Indonesia: Di Antara Potensi dan Tantangan.
Indonesia memiliki kekayaan budaya, bakat, dan kreativitas anak yang luar biasa. Namun, tantangan terbesar kita adalah konsistensi dalam menerapkan prinsip pendidikan yang berpusat pada anak. Banyak program bakat yang lahir dengan niat baik, tetapi belum seluruhnya berbasis kajian pedagogi.
Di sinilah pentingnya membedakan antara ajang hiburan dan program pendidikan. Ketika anak tampil, yang seharusnya dinilai bukan hanya keberanian di atas panggung, tetapi juga kebahagiaan, kenyamanan, dan perkembangan kepribadiannya.
Talent Kids Indonesia: Desain Pendidikan Berbasis Tumbuh Kembang.
Talent Kids Indonesia hadir sebagai respons atas kebutuhan tersebut. Program ini dirancang bukan sekadar sebagai ajang unjuk bakat, melainkan sebagai wadah pendidikan karakter dan pengembangan potensi anak secara holistik.
Pendekatan Talent Kids Indonesia menempatkan anak sebagai subjek, bukan objek. Setiap tahapan dirancang sesuai usia, dengan prinsip tanpa tekanan, tanpa eksploitasi, dan dengan pendampingan orang tua serta mentor. Seni dan panggung diposisikan sebagai media belajar, bukan tujuan akhir.
Nilai-nilai seperti percaya diri, empati, kerja sama, dan cinta budaya Indonesia menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembinaan. Dengan demikian, anak tidak hanya belajar tampil, tetapi juga belajar menjadi manusia yang utuh.
Putra–Putri Remaja Prestasi: Menjaga Transisi Menuju Kedewasaan.
Sementara itu, program Putra–Putri Remaja Prestasi dirancang untuk menjawab kebutuhan remaja yang berada pada fase transisi menuju kedewasaan. Pada usia ini, remaja membutuhkan pengakuan, tetapi juga arahan. Program ini menekankan prestasi yang seimbang antara akademik, karakter, kepemimpinan, dan kepedulian sosial.
Remaja tidak hanya dinilai dari kemampuan berbicara atau tampil, tetapi dari integritas dan kontribusinya bagi lingkungan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pedagogi remaja yang menempatkan pembinaan jangka panjang di atas popularitas sesaat.
Penutup: Mengembalikan Panggung pada Maknanya.
Panggung seharusnya menjadi ruang belajar, bukan ruang tekanan. Anak dan remaja berhak tumbuh sesuai usianya, dengan pendampingan yang bijaksana dan berlandaskan ilmu. Pengalaman Rusia dan China menunjukkan bahwa keberhasilan sumber daya manusia tidak lahir dari sensasi, melainkan dari kesabaran dan konsistensi pendidikan.
Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun generasi unggul jika mampu menempatkan bakat, seni, dan prestasi dalam kerangka pedagogi yang benar. Talent Kids Indonesia dan Putra–Putri Remaja Prestasi adalah contoh desain yang berusaha menjawab tantangan tersebut: menjadikan panggung sebagai bagian dari proses pendidikan manusia, bukan sekadar tontonan.
Novita Sari Yahya
Penulis buku
1. Romansa cinta
2. Padusi: Alam Takambang Jadi Guru
3. Ibu Bangsa Wajah Bangsa
Çp pemesanan buku 08573623-7462
Lagu Indonesiaku
Pencipta lagu : Gede Jerson
Berdasarkan puisi Indonesia terhormat karya Novita sari yahya


















