Oleh: Novita sari yahya
Dari Kerja Sama Internasional ke Penguatan Kapasitas Lokal.
MEDIA WARTA NASIONAL | JAKARTA – Kerja sama internasional di bidang kebencanaan akan kehilangan maknanya apabila tidak berujung pada penguatan kapasitas di tingkat lokal. Dalam konteks Sumatera Barat, penguatan tersebut tidak hanya menyangkut institusi pemerintah sebagai pengambil kebijakan, tetapi juga masyarakat dan pemuda sebagai aktor sosial yang berada paling dekat dengan wilayah terdampak bencana. Ketahanan bencana tidak lahir semata dari teknologi canggih atau kebijakan yang tertulis rapi di atas kertas, melainkan dari kemampuan masyarakat setempat untuk memahami risiko, beradaptasi dengan perubahan, dan bertindak secara kolektif dalam menghadapi ancaman.
Baca Juga:
Pengalaman berbagai daerah menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan kebencanaan sangat ditentukan oleh sejauh mana kebijakan tersebut berakar pada kapasitas lokal. Tanpa keterlibatan masyarakat dan aktor sosial di tingkat akar rumput, kerja sama internasional berisiko berhenti pada tataran simbolik dan tidak menghasilkan dampak yang berkelanjutan. Oleh karena itu, alih pengetahuan dari kerja sama global harus diarahkan secara sadar untuk memperkuat kemampuan daerah dalam mengelola risiko bencana secara mandiri.
Pemuda sebagai Aktor Strategis Ketahanan Bencana.
Pemuda menempati posisi strategis dalam upaya mitigasi dan pemulihan bencana. Mereka berada pada usia produktif, memiliki daya adaptasi yang relatif tinggi terhadap perubahan, serta lebih terbuka terhadap pengetahuan dan teknologi baru. Dalam banyak peristiwa bencana, pemuda kerap menjadi kelompok yang paling awal terlibat dalam evakuasi, distribusi bantuan, dan pemulihan awal. Peran ini sering muncul secara spontan, didorong oleh solidaritas sosial dan kedekatan dengan komunitas terdampak.
Namun, potensi besar tersebut belum sepenuhnya dikelola secara sistematis dalam kerangka kebijakan kebencanaan daerah. Keterlibatan pemuda masih sering dipahami sebagai kegiatan sukarela yang bersifat ad hoc, bukan sebagai bagian dari strategi pembangunan ketahanan jangka panjang. Padahal, penguatan peran pemuda melalui pelatihan, pendampingan, dan integrasi ke dalam sistem resmi kebencanaan akan memberikan dampak yang jauh lebih signifikan.
Di Sumatera Barat, keterlibatan pemuda memiliki konteks sosial dan kultural yang khas. Struktur nagari sebagai satuan sosial yang masih hidup dan berfungsi memberikan ruang partisipasi yang relatif luas bagi pemuda untuk berperan sebagai penggerak perubahan. Dalam struktur ini, pemuda tidak berdiri terpisah dari masyarakat, melainkan menjadi bagian dari jejaring sosial yang memiliki legitimasi kultural. Kondisi ini merupakan modal sosial penting dalam membangun ketahanan bencana berbasis komunitas.
Gerakan Pemuda Lestari Sumatera Barat (GPL Sumbar) hadir dalam konteks tersebut dengan memposisikan pemuda dan nagari sebagai subjek utama pemulihan dan mitigasi bencana. Gerakan ini memandang kerja sama internasional bukan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk memperkaya pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan memperkuat kapasitas lokal. Dengan pendekatan ini, pemuda tidak sekadar menjadi penerima program, tetapi berperan aktif dalam proses pembelajaran dan penerapan di lapangan.
Alih Pengetahuan sebagai Fondasi Ketahanan Jangka Panjangq
Salah satu manfaat utama kerja sama Indonesia – Rusia dalam konteks kebencanaan adalah peluang alih pengetahuan di bidang pemodelan lingkungan dan hidrologi. Rusia dikenal memiliki tradisi ilmiah yang kuat dalam pengembangan model lingkungan berskala besar, dengan pendekatan yang mengintegrasikan data meteorologi, hidrologi, geologi, serta penginderaan jauh. Pendekatan interdisipliner semacam ini relevan bagi wilayah seperti Sumatera Barat yang memiliki karakter geografis kompleks dan tingkat kerentanan tinggi terhadap banjir bandang dan longsor.
Pengembangan model risiko bencana berbasis daerah aliran sungai merupakan kebutuhan yang semakin mendesak. Model tersebut tidak hanya berfungsi untuk memprediksi potensi bencana, tetapi juga untuk memahami hubungan antara perubahan tutupan lahan, curah hujan ekstrem, dan dinamika sedimen. Pemahaman yang lebih komprehensif mengenai hubungan sebab-akibat ini akan membantu pemerintah daerah menyusun kebijakan mitigasi yang lebih presisi dan kontekstual.
Melalui kerja sama riset, pertukaran peneliti, dan program pelatihan bersama, kapasitas akademisi dan peneliti lokal dapat diperkuat secara bertahap. Universitas dan lembaga riset di Sumatera Barat memiliki potensi besar untuk menjadi pusat pengembangan pengetahuan kebencanaan berbasis lokal. Namun, potensi tersebut memerlukan dukungan jejaring internasional agar tidak terisolasi dari perkembangan ilmu pengetahuan global.
Program peneliti tamu, dosen tamu, dan pelatihan jangka pendek merupakan instrumen penting dalam proses alih pengetahuan. Skema ini memungkinkan transfer keahlian secara langsung, sekaligus membuka ruang dialog ilmiah yang setara antara peneliti lokal dan internasional. Penguatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan riset merupakan investasi jangka panjang yang akan menentukan keberlanjutan upaya mitigasi dan pemulihan bencana di daerah.
Pemuda sebagai Penghubung Pengetahuan Global dan Praktik Lokal.
Alih pengetahuan tidak akan efektif apabila berhenti di tingkat akademik atau institusional. Tantangan terbesar adalah menerjemahkan pengetahuan global menjadi praktik yang dapat dipahami dan dijalankan oleh masyarakat lokal. Di sinilah peran pemuda menjadi krusial sebagai penghubung antara dunia ilmu pengetahuan dan realitas lapangan.
Pemuda yang memiliki akses terhadap pendidikan dan teknologi dapat berperan sebagai fasilitator pengetahuan di tingkat nagari. Mereka dapat membantu masyarakat memahami peta risiko, sistem peringatan dini, serta langkah-langkah mitigasi sederhana yang sesuai dengan kondisi setempat. Peran ini seharusnya tidak bersifat top-down, melainkan dialogis, dengan menghargai pengetahuan lokal dan pengalaman masyarakat yang telah lama hidup berdampingan dengan risiko bencana.
GPL Sumbar menempatkan proses ini sebagai bagian dari strategi penguatan ketahanan sosial. Pemuda tidak hanya dilatih sebagai relawan tanggap darurat, tetapi juga sebagai agen edukasi lingkungan dan kebencanaan. Pendekatan ini memperluas makna pemulihan pascabencana, dari sekadar membangun kembali infrastruktur fisik menjadi membangun kapasitas sosial yang lebih tangguh dan adaptif.
Penguatan Kapasitas Pencarian dan Pertolongan.
Banjir bandang dan longsor di Sumatera Barat sering terjadi di wilayah dengan akses terbatas dan kondisi alam yang ekstrem. Dalam situasi seperti ini, kemampuan pencarian dan pertolongan menjadi faktor penentu keselamatan korban dan relawan. Keterlambatan evakuasi atau keterbatasan peralatan dapat berakibat fatal, terutama pada fase awal bencana.
Rusia memiliki pengalaman panjang dalam operasi pencarian dan pertolongan di medan berat, termasuk di wilayah pegunungan dan kondisi cuaca ekstrem. Pengalaman tersebut dapat menjadi sumber pembelajaran penting bagi Indonesia. Pelatihan teknis, simulasi bersama, serta pertukaran instruktur dapat meningkatkan keterampilan petugas dan relawan di lapangan, sekaligus memperkuat standar keselamatan kerja.
Bagi pemuda yang tergabung dalam GPL Sumbar, penguatan kapasitas pencarian dan pertolongan akan memperkuat peran mereka sebagai relawan siaga bencana berbasis nagari. Pelatihan yang terstandar dan berkelanjutan tidak hanya meningkatkan efektivitas operasi penyelamatan, tetapi juga mengurangi risiko bagi relawan itu sendiri. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem kesiapsiagaan bencana di tingkat lokal.
Teknologi Pemantauan dan Tata Kelola Lingkungan.
Selain teknologi pengamatan Bumi, pengembangan teknologi pemantauan non-invasif juga menjadi bidang yang relevan untuk dipelajari. Teknologi semacam ini memungkinkan pemantauan lingkungan dan infrastruktur tanpa merusak ekosistem, serta lebih adaptif terhadap kondisi alam yang ekstrem. Walaupun sebagian inovasi tersebut masih bersifat pengembangan, arah kebijakan menuju pemantauan berbasis data merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda.
Pembelajaran dari kebijakan lingkungan Rusia, seperti National Project “Ecology”, memberikan perspektif tentang pentingnya integrasi lintas sektor dalam pengelolaan lingkungan. Pendekatan tersebut menekankan konsistensi kebijakan, koordinasi antar lembaga, serta penggunaan data sebagai dasar pengambilan keputusan. Prinsip-prinsip ini relevan untuk diterapkan secara kontekstual di Sumatera Barat.
Bagi daerah ini, integrasi tata kelola lingkungan dan kebencanaan merupakan kebutuhan mendesak. Kerusakan lingkungan di kawasan hulu tidak hanya meningkatkan risiko bencana, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, pemantauan lingkungan harus menjadi bagian dari sistem pembangunan daerah yang berkelanjutan, bukan sekadar respons sementara terhadap bencana.
Tantangan Implementasi Kerja Sama Internasional.
Implementasi kerja sama internasional tidak lepas dari berbagai tantangan. Regulasi yang kompleks, koordinasi antar lembaga, serta keterbatasan pendanaan sering menjadi hambatan dalam pelaksanaan program. Tanpa perencanaan yang matang, kerja sama berisiko berhenti pada tataran seremonial dan tidak menghasilkan perubahan nyata di lapangan.
Oleh karena itu, kerja sama perlu dijalankan dengan prinsip yang jelas. Pertama, bertahap dan berbasis pada kebutuhan nyata daerah. Kedua, terintegrasi dengan sistem nasional dan daerah agar tidak berjalan sendiri-sendiri. Ketiga, transparan dan akuntabel, sehingga dapat diawasi oleh publik dan pemangku kepentingan. Yang tidak kalah penting, setiap bentuk kerja sama harus mengutamakan penguatan kapasitas lokal. Alih pengetahuan, pemberdayaan pemuda, dan penguatan kelembagaan daerah perlu menjadi indikator utama keberhasilan. Kerja sama internasional tidak boleh menciptakan ketergantungan baru, melainkan mendorong kemandirian daerah dalam menghadapi risiko bencana di masa depan.
Menuju Ketahanan Bencana Berbasis Nagari
Pemulihan pascabencana banjir bandang di Sumatera Barat tidak dapat dipisahkan dari upaya membangun ketahanan jangka panjang. Ketahanan tersebut harus berakar pada nagari sebagai basis sosial, dengan pemuda sebagai penggerak utama. Sinergi antara pengetahuan global dan kearifan lokal menjadi kunci untuk menghadapi risiko bencana yang semakin kompleks.
Kerja sama internasional, termasuk dengan Rusia, akan bermakna apabila mampu memperkuat fondasi tersebut. Alih pengetahuan, penguatan kapasitas pemuda, serta pengembangan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan perlu berjalan secara beriringan. Dengan pendekatan ini, Sumatera Barat tidak hanya mampu pulih dari bencana, tetapi juga membangun masa depan yang lebih tangguh dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Daftar Referensi
Daftar Referensi
1. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. (2022). Publikasi iklim dan analisis curah hujan Indonesia (termasuk buletin prakiraan musim hujan dan outlook iklim). Jakarta: BMKG.
2. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2022). Pedoman penguatan kesiapsiagaan berbasis masyarakat. Jakarta: BNPB.
3. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2023). Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2023. Jakarta: BNPB.
4. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. (2020). Rencana nasional penanggulangan bencana tahun 2020–2024. Jakarta: Bappenas.
5. Intergovernmental Panel on Climate Change. (2021). Climate change 2021: The physical science basis. Cambridge: Cambridge University Press.
6. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2022). Status lingkungan hidup Indonesia tahun 2022. Jakarta: KLHK.
7. Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. (2020). Kebijakan strategis kepemudaan Indonesia. Jakarta: Kemenpora RI.
8. Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 148.
9. United Nations Office for Disaster Risk Reduction. (2015). Sendai framework for disaster risk reduction 2015–2030. Geneva: UNDRR.
















