Reporter : Ramdhani
Editor : Wiratno
Baca Juga:
MEDIA WARTA NASIONAL | JAKARTA – Tiga mantan majelis hakim yang pernah menangani perkara fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) dituntut masing-masing 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung.
Ketiganya adalah Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom. Mereka dinilai terbukti menerima suap dan gratifikasi senilai total sekitar Rp40 miliar terkait putusan lepas dalam perkara korupsi ekspor CPO.
Tuntutan tersebut dibacakan JPU dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (29/10/2025), di hadapan majelis hakim yang diketuai Efendi, SH.
“Para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” ujar JPU dalam sidang pembacaan tuntutan.
Dalam berkas tuntutan, JPU menjelaskan kasus ini berkaitan dengan perkara korupsi di sektor industri kelapa sawit pada periode Januari hingga April 2022.
Beberapa korporasi besar yang disebut dalam perkara pokoknya antara lain Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
Para terdakwa disebut menerima suap untuk memengaruhi putusan dalam perkara tersebut, sehingga sejumlah pihak yang didakwa dalam kasus korupsi ekspor CPO memperoleh vonis lepas.
Berikut tuntutan terhadap masing-masing terdakwa:
Djuyamto, dituntut 12 tahun penjara, denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, dan uang pengganti Rp9,5 miliar subsider lima tahun penjara.
Agam Syarief, dituntut 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti Rp6,2 miliar subsider lima tahun.
Ali Muhtarom, dituntut 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti Rp6,2 miliar subsider lima tahun.
Wahyu Gunawan, turut dituntut 12 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti Rp2,4 miliar subsider enam tahun.
Sementara Muhammad Arif, mantan Ketua PN Jakarta Selatan, dituntut paling berat, yakni 15 tahun penjara.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan bahwa para terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi serta telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan.
Namun, jaksa juga menyebutkan beberapa hal yang meringankan, antara lain para terdakwa bersikap kooperatif, mengakui perbuatannya, dan belum pernah dihukum sebelumnya.
Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf a, atau Pasal 13 jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 56 KUHP.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan aparat peradilan yang semestinya menjaga integritas lembaga hukum, namun justru terlibat dalam praktik korupsi bernilai fantastis.















